Senin, 07 April 2014



Mererapkan Pengamalan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk Membangun Peran Generasi Muda dalam Membina Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Sebuah negara secara psikologis terbentuk karena adanya rasa senasib, sepenanggungan, setujuan, dan secita-cita. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya karena ingin lepas dari belenggu penjajah. Seperti yang tertuang dalam pembukaan UUDNRI 1945 alinea I, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kemudian, pada alinea ke III menyatakan bahwa terbentuknya negara Indonesia juga tidak lepas dari kekuasaan Tuhan YME. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur….”
Para founding fathers (pendiri bangsa) juga menuangkan tujuan dan cita-cita nasional bangsa dan negara Indonesia dalam alinea IV. Yaitu, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Terbentuknya negara Indonesia seperti yang dijelaskan diatas, diawali dengan sejarah jauh sebelum masa penjajahan. Akan tetapi, disini saya hanya akan menjelaskan dari masa kerajaan Hindu-Budha.
Kita ingat, kerajaan Hindu pertama kerajaan Kutai, hingga akhirnya masa keemasan Majapahit. Ya, pada masa Majapahit inilah kita dapat mengetahui tonggak persatuan nusantara. Diangkatnya Gajah Mada menjadi patih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa. Tan Amukti Palapa (Sumpah Palapa) ini menyatakan bahwa Gajah Mada ingin menyatukan nusantara di bawah panji Majapahit.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk mengantarkan Majapahit kepada masa kejayaannya. Ya, karena Hayam Wuruk adalah raja yang berpandangan luas. Kebijakan politiknya juga memiliki banyak kesamaan dengan Patih Gajah Mada. Politik Persatuan Nusantara.
Dengan pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada yang memiliki tujuan yang sama inilah, kejayaan dapat diraih. Partisipasi rakyat juga sangat mendukung. Sehingga kesejahteraan rakyat pun meningkat. Tentu dengan adanya persatuan, bukan?
Setelah Majapahit runtuh, dan diganti kerajaan Islam, serta munculnya para penjajah. Kita tahu, perlawanan di berbagai daerah banyak dilakukan. Hal ini menunjukkan persatuan dan kesatuan baru dilakukan di daerah-daerah di nusantara.
Kebangkitan bangsa (berdirinya Organisasi Boedi Oetomo) menggelorakan semangat persatuan diantara para pemuda di Indonesia. Semangat untuk saling bersatu, menyatukan kekayaan wilayah, suku, ras, agama, etnik, budaya, dan lain-lain yang dimiliki nusantara.
Hingga akhinya, Sumpah Pemuda dapat merealisasikan semangat para pemuda menyatukan bangsa. Persatuan yang semula hanya di berbagai daerah, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, dan lain-lain yang menandakan daerah masing-masing, pada Sumpah Pemuda membuktikan bahwa pemuda nusantara dengan berbagai perbedaan karakter dapat bersatu dan diambil sumpahnya untuk menjunjung tinggi Indonesia.
Apabila kita lihat keadaan saat itu, kongres pemuda ini pasti sangat berbeda dari kongres-kongres pemuda zaman sekarang. Para pemuda pada waktu itu, pasti selalu melakukan kongres dengan dihantui bayang-bayang para penjajah yang menentang segala organisasi bangsa yang dapat memotivasi rakyat Indonesia pada waktu itu agar ‘melek’ akan adanya serangan dan tipu daya penjajah.
Akan tetapi semangat dan antusiasme para pemuda pada waktu itu sangatlah patut diacungi jempol. Mereka tidak goyah dengan keadaan. Justru itulah pembangkit semangat mereka untuk maju, untuk Indonesia.
Kondisi ini, menimbulkan semangat berbangsa yang satu, bertanah air yang satu, dan bahasa yang satu yaitu Bahasa Indonesia. Semangat ini yang menjadi latar belakang para pemimpin utuk memikirkan dasar filsafat Negara sebagai symbol nasionalisme.
Musyawarah mufakat berdasarkan moral luhur dilakukan untk menyusun dasar negara yang cocok dengan Negara Indonesia. Sidang BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945) yang mengusulkan adanya dasar Negara, 3 para petinggi bangsa menyampaikan rancangan dasar Negara Indonesia (Muh. Yamin (29 Mei), Dr. Supomo (30 Mei), dan Ir. Soekarno (1 Juni) ).
Pada tanggal 1 Juni inilah Ir. Soekarno mencetuskan nama Pancasila sebagai nama rancangan dasar negara Indonesia.  Namun, para pendiri bangsa belum menetapkan apa saja kelima sila yang sesuai dengan Indonesia. Maka dari itu, sidang berlanjut dengan dibentuknya Panitia Sembilan yang berhasil mengeluarkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang selanjutnya disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai PANCASILA dengan mengganti “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal itu dikarenakan Indonesia tidak hanya terdiri dari agama Islam saja.
Lima sila dalam Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia, diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religious yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk Negara.
Pancasila mencakup semua aspek kehidupan yang bersifat sangat fleksibel bila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, dalam pidato Ir. Soekarno pada salah satu rapat PBB yang berjudul “Built the World a New” mengatakan bahwa bila dunia menggunakan dasar Pancasila dan ditegakkan secara tegas, maka rakyat seluruh dunia akan hidup terarah.
Pidato tersebut diakui oleh wakil negara di dunia bahwa Ir. Soekarno adalah jenius dengan pemikiran-pemikiran dalam setiap sila Pancasila itu. Hal itu dapat kita buktikan dengan penjabaran pada setiap sila.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menunjukkan bahwa yang mendasar dalam hidup adalah Ketuhanan. Kita hidup di dunia ada karena Tuhan. Indonesia merdeka karena kehendak Tuhan (Pembukaan UUD 1945 alinea III). Walaupun, keyakinan dalam cara bersyukur dan atau beribadat kepada Tuhan tergantung keyakinan masing-masing. Tetapi, pada dasarnya semua keyakinan dan agama semuanya mengajarkan kepada kebaikan.
Hal ini dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan pasal 29 ayat 2. Indonesia begitu menjamin adanya masalah keagamaan. Karena, hal-hal yang baik itu berawal dalam ajaran agama. Orang yang mempunyai agama yang kuat, pasti takut dalam melakukan perilaku buruk dan melanggar ajaran agamanya.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Menunjukkan adanya sikap saling tolong menolong, menghormati antarmanusia. Kita tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Kalau kita tidak saling menolong orang lain, orang lain pun segan kalu menolong kita. Dalam kehidupan masyarakat misalnya, hidup berkemanusiaan tentu sangat diperlukan. Tidak lepas dari sila satu, sila kedua ini juga menjelaskan bahwa manusia Indonesia adalah bagian dari warga negara dunia, meyakini adanya prinsip kesamaan harkat dan martabat sebagai hamba Tuhan. Mengandung nilai cinta kasih dan nilai etis yang menghargai keberanian untuk membela kebenaran, santun dan menghormati harkat kemanusiaan.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, Indonesia terdiri dari beragam perbedaan etnik, wilayah, suku, agama, ras, dan lain-lain. Bagaimana bisa bersatu kalau perbedaan-perbedaan itu masih dianggap sebagai sesuatu yang dapat memicu adanya perpecahan. Tentu, kita sebagai warga Negara Indonesia harus bisa saling menghormati orang lain dengan keberbedaan mereka. Kita harus dapat memaklumi bagaimana sifat mereka.
Sebagai contoh, suku Jawa dan suku Madura. Suku Jawa dikenal sebagai suku dengan kepribadian sangat halus, walaupun kadang terlalu sering berbasa-basi hanya dengan alasan untuk menghormati orang lain ataupun alasan agar orang lain tidak tersinggung dengan  apa pembicaraan kita. Mungkin itu dapat dianggap suku Madura kalau suku Jawa itu banyak basa-basinya. Lain halnya dengan suku Madura yang terkenal ‘ceplas-ceplos’. Mereka mungkin tidak merasa kalau mereka tidak sopan, karena itu memang sudah budaya mereka. Sebagai warga Negara yang sadar akan adanya perbedaan-perbedaan itu, sebaiknya kita memang harus saling menghormati.
Indonesia tidak bisa merdeka kalau tidak ada rasa persatuan diantara warga negaranya. Tepatnya 66 tahun Indonesia berdiri, membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah berhasil menyatukan berbagai macam perbedaan, untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang luhur. Walaupun seperti kita tahu, cita-cita luhur para pendiri bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinea IV) tersebut belum sepenuhnya kita capai.
Sekarang yang akan kita bahas adalah bagaimana cara kita agar dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah kemajemukan Negara Indonesia?
Jawabannya hanyalah “Bhineka Tunggal Ika”
Semboyan yang terdapat dalam kitab Sotasoma karangan Empu Tantular. Kata ‘bhineka’ berarti beraneka, ‘tunggal’ berarti satu, ‘ika’ berarti ikatan. Jadi dapat disimpulkan makna dari “Bhineka Tunggal Ika” adalah berbeda-beda tetapi tetap satu jua, seperti yang kita ketahui.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi semboyan Negara Indonesia seperti yang terdapat pada UUDNRI 1945 pasal 36A. Yang berbunyi, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika.” Hal ini dimaksudkan melihat kondisi Indonesia dengan kemajemukan yang ada.
Apabila kita mengingat perjuangan para pendiri bangsa dahulu dalam memperjuangkan kemerdekaan, tentu makna persatuan dan kesatuan itu besar sekali. Ya, persatuan dan kesatuan yang semula hanya bersifat kedaerahan, disatukan lagi untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan ini tidak lepas juga dari peran generasi muda jaman dulu untuk menggelorakan semangatnya. Seperti yang telah disebutkan diatas, misalnya saja Sumpah Pemuda. Setelah kemerdekaan, sebelum masa reformasi seperti sekarang ini, kita tentu masih ingat bagaimana pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru dipimpin Presiden Soeharto sejak tahun 1967 sampai tahu1998. Presiden Soeharto menerapkan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk meujudkan pembangunan nasional. Saya disini bukan akan membahas bagaimana pemerintahan Orde Baru, tetapi seperti yang saya baca dari buku, salah satu dampak negatif dari menguatnya peran Negara pada masa Orde Baru di bidang ekonomi adalah adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Tidak perlu ditutup-tutupi, kita tahu KKN pada masa Orde Baru sampai ‘mengakar’ pada bagian terkecil komponen masyarakat. Begitu membudayanya KKN pada masa Orde Baru, bahkan sampai masa reformasi yang sudah berjalan 13 tahun ini, KKN di Indonesia sudah sangat biasa terngiang ditelinga kita berita KKN negara kita. Bahkan, mungkin yang melakukan tidak merasa malu. Apakah Indonesia yang kini sudah lepas dari Orde Baru, masih akan membudayakan KKN?
Sebagai manusia yang bermartabat, berketuhanan, dari hati pasti kita ingin lepas dari budaya itu juga.  Yang menjadi buah pemikiran saya adalah bagaimana KKN bisa terorganisasi dengan baik pada masa Orde Baru tersebut?
Apakah mereka-mereka yang melakukan KKN itu, sudah menanamkan di hati mereka untuk melakukan KKN, hingga mereka yang terdakwa korupsi dengan santainya pergi kesana-kemari tanpa memikirkan aib mereka karena KKN?
Masa reformasi seharusnya menjadi lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Disini saya berpendapat melalui pemikiran saya, kita mencontoh bagaimana terorganisasinya KKN pada masa Orde Baru. Yang dicontoh, bukan budaya KKNnya yang pasti.
Kita mengambil pelajaran dari masa Orde Baru untuk mengorganisasikan rasa persatuan dan kesatuan sampai ke’akar-akar’ komponen terkecil masyarakat, agar persatuan dan kesatuan menjadi budaya, hingga sulit untuk dihilangkan seperti KKN saat ini. Jadi, bagaimana cara membudayakan persatuan dan kesatuan itu? Khususnya untuk generasi muda sebagai penerus bangsa?
Pertama adalah melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya dalam pengamalan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika harus bisa diajarkan sejak dini. Pertama memang melalui keluarga. Karena, keluarga itu sosialisasi tempat sosialisasi primer. Oleh karena itu, seorang ayah dan ibu harus mempunyai bekal cukup untuk mendidik moral anak-anak mereka.
Seorang ayah atau ibu mendapatkan sosialisasi moral Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dari lingkungan masyarakat ataupun tempat mereka bekeja. Lalu, anak-anak mendapatkan sosialisasi sekunder di bangku pendidikan mereka,  seperti mulai dari tingkat playgroup.
Mengapa playgroup? Ya, karena seperti kita ketahui saat ini, playroup itu sudah menjamur dimana-mana. Bahkan di desa pun sudah bermunculan playgroup. Kalau bukan playgroup, minimal Taman Kanak-Kanak.
Anak-anak ini harus memiliki bekal untuk tumbuh dewasa kelak. Mereka diharapkan memiliki moral yang luhur untuk meneruskan perjuangan bangsa. Yang pertama diterapkan adalah dengan agama mereka. Mengapa mulai dari agama?
Karena, banyak dijumpai saat ini, banyak orang hanya mencantumkan/mengakui agama yang dimiliki, tanpa melakukan ibadat menurut keyakinan mereka. Hal itu, sebab paling kecil runtuhnya moral bangsa. Bagaimana tidak, moral luhur yang diajarkan agama saja mereka tidak tahu, karena tidak mengamalkan ajaran agama mereka.
Selain agama, di playgrop atau Taman Kanak-kanak sebisa mungkin mengajarkan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah disebutkan diatas, mengenai ketuhanan, dan sila-sila selanjutnya. Misalnya, mengajarkan anak untuk saling tolong-menolong, saling menghormati, diajak untuk bermusyawarah, juga mengajarkan agar tidak membeda-bedakan teman. Itu contoh paling kecil yang bisa diajarkan kepada anak didik.
Menurut saya, anak kecil itu selalu menuruti/mengikuti apa yang ada di sekitar mereka. Kalau gurunya mengajarkan pengamalan-pengamalan luhur itu kepada semua anak didiknya, semua anak didik dengan kesadarannya akan melakukan moral luhur itu. Kalau dari bangku playgroup sudah diterapkan, mereka juga pasti akan terbiasa hingga mereka dewasa.
Yang kedua adalah melalui sosialisasi mengenai pentingnya hidup berpancasila dan berbhineka tunggal ika. Ya, ini untuk bekal orang tua untuk mendidik anak-anak mereka juga. Sosialisasi ini bisa melalui seminar-seminar, ataupun rapat tingkat RT.
Kita tahu, seminar sudah banyak dilakukan. Walaupun menurut saya seminar merupakan kegiatan efektif untuk mensosialisasikan mengenai pentingnya hidup berpancasila dan berbhineka tunggal ika, tetapi saya lebih mengorientasikan kepada rapat tingkat RT.
Mengapa? Karena saya kurang begitu mengetahui antusiasme berbagai kalangan, dan alasan  mengapa mereka sering tidak memanfaatkan seminar itu. Mungkin juga, seminar itu hanya dimanfaatkan oleh orang yang memang sudah benar-benar ‘melek’ dengan kemajemukan bangsa. Lalu, bagaimana dengan orang awam?
Ya, melalui rapat RT itulah. Saya yakin, walaupun globalisasi sudah menjamur bahkan di desa-desa, rapat-rapat ataupun musyawarah itu tetap masih ada. Sosialisasi melalui rapat atau musyawarah di desa itu, dirasa sangat efektif, karena bagi orang awam, yang kebanyakan tidak mengenyam pendidikan sekolah, mereka tetap bisa diberi ‘wejangan’ tentang  pentingnya hidup berpancasila dan berbhineka tunggal ika.
Menurut saya, orang awam di desa itu, lebih sadar dengan rapat-rapat yang ada di desa mereka. Hal itu, karena mereka belum terlalu terkontaminasi dengan budaya globalisasi yang juga melunturkan kebudayaan. Ya, karena mereka berpendapat, apabila tidak menghadiri rapat itu, samasaja menjauhi lingkungan masyarakat. Dapat dikucilkan masyarakat kalau tidak mengikuti kegiatan seperti itu.
Tidak menutup kemungkinan, generasi muda di desa masih ada yang awamjuga mengenai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu, dalam rapat pemuda di desa pun penting juga untuk disosialisasikan.
Lalu, bagaimana masyarakat kota yang sibuk dengan urusan kantor, rapat kesana kemari, para eksekutif muda, dan lain-lain? Ya, seperti diatas tadi, disosialisasikan melalui kegiatan rapat. Orang-orang tersebut juga berpengaruh dengan keadaan Indonesia. Tidak menutup kemungkinan, mereka melakukan tindakan korupsi ataupun kolusi. Apalagi, para eksekutif muda yang juga tulang punggung bangsa.
Untuk kegiatan sosialisasi itu, hendaknya  intitusi legislatif, eksekutif, yudikatif mengadakan kerjasama dengan lembaga masyarakat dan kantor-kantor ataupun politisi, birokrat, pengusaha dan intelektual. Hal ini, untuk mensinergiakan seluruh potensi, guna mengemban misi persatuan dan kesatuan melalui pentingnya hidup berpancasila dan berbhineka tunggal ika.
Lebih lanjut, semua itu juga didasari oleh diri-sendiri. Ya, kalau semua komponen masyarakat mendukung, lingkungan mendukung, tetapi dari diri sendiri malah tidak mendukung, percuma saja dilakukan sosialisasi dimana-mana. Untuk diri-sendiri ini, hal yang paling berpengaruh adalah agama mereka.
Peran generasi muda dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa sangat strategis. Karena, generasi muda sebagai pewaris dan penerus bangsa. Tanggung jawab generasi muda terhadap Indonesia sangat tinggi. Masa depan bangsa Indonesia adalah bagaimana keadaan generasi muda saat ini. Pepatah mengatakan, sesungguhnya masa depan bangsa itu dari generasi muda. Jadilah generasi muda yang berkualitas jiwa maupun raganya.
Lalu, peran generasi muda meneruskan perjuangan pemuda jaman dulu untuk meneruskan cita-cita luhur dan tujuan nasional sebagai tulang punggung bangsa, seperti kita ini adalah dengan belajar yang rajin, disiplin, penuh kesungguhan, kesabaran, ulet, tahan uji, pantang menyerah dalam meraih masa depan.  Mengapa? Tugas utama pelajar itu adalah belajar. Juga, generasi muda diharapkan memunyai cita-cita yang tinggi dan luhur, agar program hidup jelas dan terarah. Tidak terseret kepada hal-hal negative.
Hal ini, untuk menciptakan cendekiawan-cendekiawan Negara seperti dahulu para pemuda sebelum kemerdekaan. Semangat mereka.  Saya pernah membaca, bahwa gerakan para pemuda dalam kiprahnya memberikan catatan bahwa ada siklus 20 tahunan, di mana para pemuda memainkan peranan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara.
Sumber daya manusia yang hebat adalah yang berilmu, takwa, berakhlak, dan moralitas yang baik. Nah, ini saatnya kita untuk berpikiran cerdas akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, dengan mengembalikan moral kita kepada moral Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Karena, diatas saya menjelaskan sila pengamalan Pancasila, saya melanjutkan sila keempat. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Contohnya, adalah kegiatan musyawarah. Sila kelima, “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.” Karena, kita hidup di lingkungan masyarakat, maka contohnya, kita tidak memilih dalam hal bergaul.
Kalau moral Pancasila benar-benar kiat terapkan, bersiaplah untuk Indonesia masa depan yang lebih terarah. 
   
Riwayat Hidup:
Nama                           : Wulan Sari Ningsih
Tempat, tanggal lahir  : Sleman, 19 Februari 1995
Alamat                        : Gandekan 01/09, Tlogoadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta   55286
Sekolah                       : SD N Tlogoadi          (2006)
  SMP N 3 Sleman      (2009)
  SMA N 1 Sleman      (bangku kelas XII)
Alamat Sekolah           : Jln. Magelang Km 14,4 Medari Sleman Yogyakarta 55515


 




0 komentar:

Posting Komentar