Mererapkan
Pengamalan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk Membangun Peran Generasi
Muda dalam Membina Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Sebuah
negara secara psikologis terbentuk karena adanya rasa senasib, sepenanggungan,
setujuan, dan secita-cita. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya karena
ingin lepas dari belenggu penjajah. Seperti yang tertuang dalam pembukaan
UUDNRI 1945 alinea I, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kemudian,
pada alinea ke III menyatakan bahwa terbentuknya negara Indonesia juga tidak
lepas dari kekuasaan Tuhan YME. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur….”
Para
founding fathers (pendiri bangsa)
juga menuangkan tujuan dan cita-cita nasional bangsa dan negara Indonesia dalam
alinea IV. Yaitu, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Terbentuknya
negara Indonesia seperti yang dijelaskan diatas, diawali dengan sejarah jauh
sebelum masa penjajahan. Akan tetapi, disini saya hanya akan menjelaskan dari
masa kerajaan Hindu-Budha.
Kita
ingat, kerajaan Hindu pertama kerajaan Kutai, hingga akhirnya masa keemasan
Majapahit. Ya, pada masa Majapahit inilah kita dapat mengetahui tonggak
persatuan nusantara. Diangkatnya Gajah Mada menjadi patih, Gajah Mada
mengucapkan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa. Tan Amukti Palapa
(Sumpah Palapa) ini menyatakan bahwa Gajah Mada ingin menyatukan nusantara di
bawah panji Majapahit.
Masa
pemerintahan Hayam Wuruk mengantarkan Majapahit kepada masa kejayaannya. Ya,
karena Hayam Wuruk adalah raja yang berpandangan luas. Kebijakan politiknya
juga memiliki banyak kesamaan dengan Patih Gajah Mada. Politik Persatuan
Nusantara.
Dengan
pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada yang memiliki tujuan yang sama
inilah, kejayaan dapat diraih. Partisipasi rakyat juga sangat mendukung.
Sehingga kesejahteraan rakyat pun meningkat. Tentu dengan adanya persatuan,
bukan?
Setelah
Majapahit runtuh, dan diganti kerajaan Islam, serta munculnya para penjajah.
Kita tahu, perlawanan di berbagai daerah banyak dilakukan. Hal ini menunjukkan persatuan
dan kesatuan baru dilakukan di daerah-daerah di nusantara.
Kebangkitan
bangsa (berdirinya Organisasi Boedi Oetomo) menggelorakan semangat persatuan
diantara para pemuda di Indonesia. Semangat untuk saling bersatu, menyatukan
kekayaan wilayah, suku, ras, agama, etnik, budaya, dan lain-lain yang dimiliki
nusantara.
Hingga
akhinya, Sumpah Pemuda dapat merealisasikan semangat para pemuda menyatukan
bangsa. Persatuan yang semula hanya di berbagai daerah, seperti Jong Java, Jong
Ambon, Jong Celebes, dan lain-lain yang menandakan daerah masing-masing, pada
Sumpah Pemuda membuktikan bahwa pemuda nusantara dengan berbagai perbedaan
karakter dapat bersatu dan diambil sumpahnya untuk menjunjung tinggi Indonesia.
Apabila
kita lihat keadaan saat itu, kongres pemuda ini pasti sangat berbeda dari
kongres-kongres pemuda zaman sekarang. Para pemuda pada waktu itu, pasti selalu
melakukan kongres dengan dihantui bayang-bayang para penjajah yang menentang
segala organisasi bangsa yang dapat memotivasi rakyat Indonesia pada waktu itu
agar ‘melek’ akan adanya serangan dan tipu daya penjajah.
Akan
tetapi semangat dan antusiasme para pemuda pada waktu itu sangatlah patut
diacungi jempol. Mereka tidak goyah dengan keadaan. Justru itulah pembangkit
semangat mereka untuk maju, untuk Indonesia.
Kondisi
ini, menimbulkan semangat berbangsa yang satu, bertanah air yang satu, dan
bahasa yang satu yaitu Bahasa Indonesia. Semangat ini yang menjadi latar
belakang para pemimpin utuk memikirkan dasar filsafat Negara sebagai symbol
nasionalisme.
Musyawarah
mufakat berdasarkan moral luhur dilakukan untk menyusun dasar negara yang cocok
dengan Negara Indonesia. Sidang BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945) yang mengusulkan
adanya dasar Negara, 3 para petinggi bangsa menyampaikan rancangan dasar Negara
Indonesia (Muh. Yamin (29 Mei), Dr. Supomo (30 Mei), dan Ir. Soekarno (1 Juni)
).
Pada
tanggal 1 Juni inilah Ir. Soekarno mencetuskan nama Pancasila sebagai nama
rancangan dasar negara Indonesia. Namun,
para pendiri bangsa belum menetapkan apa saja kelima sila yang sesuai dengan
Indonesia. Maka dari itu, sidang berlanjut dengan dibentuknya Panitia Sembilan
yang berhasil mengeluarkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang selanjutnya
disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai PANCASILA dengan
mengganti “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal itu dikarenakan
Indonesia tidak hanya terdiri dari agama Islam saja.
Lima
sila dalam Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia, diangkat dari
nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religious yang
terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk Negara.
Pancasila
mencakup semua aspek kehidupan yang bersifat sangat fleksibel bila diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan, dalam pidato Ir. Soekarno pada salah satu rapat
PBB yang berjudul “Built the World a New” mengatakan bahwa bila dunia menggunakan
dasar Pancasila dan ditegakkan secara tegas, maka rakyat seluruh dunia akan
hidup terarah.
Pidato
tersebut diakui oleh wakil negara di dunia bahwa Ir. Soekarno adalah jenius
dengan pemikiran-pemikiran dalam setiap sila Pancasila itu. Hal itu dapat kita
buktikan dengan penjabaran pada setiap sila.
Sila
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menunjukkan bahwa yang mendasar dalam hidup
adalah Ketuhanan. Kita hidup di dunia ada karena Tuhan. Indonesia merdeka
karena kehendak Tuhan (Pembukaan UUD 1945 alinea III). Walaupun, keyakinan
dalam cara bersyukur dan atau beribadat kepada Tuhan tergantung keyakinan
masing-masing. Tetapi, pada dasarnya semua keyakinan dan agama semuanya
mengajarkan kepada kebaikan.
Hal
ini dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan pasal 29 ayat 2. Indonesia
begitu menjamin adanya masalah keagamaan. Karena, hal-hal yang baik itu berawal
dalam ajaran agama. Orang yang mempunyai agama yang kuat, pasti takut dalam
melakukan perilaku buruk dan melanggar ajaran agamanya.
Sila
kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Menunjukkan adanya sikap saling
tolong menolong, menghormati antarmanusia. Kita tidak dapat hidup tanpa bantuan
orang lain. Kalau kita tidak saling menolong orang lain, orang lain pun segan
kalu menolong kita. Dalam kehidupan masyarakat misalnya, hidup berkemanusiaan
tentu sangat diperlukan. Tidak lepas dari sila satu, sila kedua ini juga
menjelaskan bahwa manusia Indonesia adalah bagian dari warga negara dunia,
meyakini adanya prinsip kesamaan harkat dan martabat sebagai hamba Tuhan.
Mengandung nilai cinta kasih dan nilai etis yang menghargai keberanian untuk
membela kebenaran, santun dan menghormati harkat kemanusiaan.
Sila
ketiga, Persatuan Indonesia. Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, Indonesia
terdiri dari beragam perbedaan etnik, wilayah, suku, agama, ras, dan lain-lain.
Bagaimana bisa bersatu kalau perbedaan-perbedaan itu masih dianggap sebagai
sesuatu yang dapat memicu adanya perpecahan. Tentu, kita sebagai warga Negara
Indonesia harus bisa saling menghormati orang lain dengan keberbedaan mereka.
Kita harus dapat memaklumi bagaimana sifat mereka.
Sebagai
contoh, suku Jawa dan suku Madura. Suku Jawa dikenal sebagai suku dengan
kepribadian sangat halus, walaupun kadang terlalu sering berbasa-basi hanya
dengan alasan untuk menghormati orang lain ataupun alasan agar orang lain tidak
tersinggung dengan apa pembicaraan kita.
Mungkin itu dapat dianggap suku Madura kalau suku Jawa itu banyak basa-basinya.
Lain halnya dengan suku Madura yang terkenal ‘ceplas-ceplos’. Mereka mungkin
tidak merasa kalau mereka tidak sopan, karena itu memang sudah budaya mereka.
Sebagai warga Negara yang sadar akan adanya perbedaan-perbedaan itu, sebaiknya
kita memang harus saling menghormati.
Indonesia
tidak bisa merdeka kalau tidak ada rasa persatuan diantara warga negaranya.
Tepatnya 66 tahun Indonesia berdiri, membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah
berhasil menyatukan berbagai macam perbedaan, untuk mencapai tujuan dan
cita-cita yang luhur. Walaupun seperti kita tahu, cita-cita luhur para pendiri
bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinea IV) tersebut belum sepenuhnya kita capai.
Sekarang
yang akan kita bahas adalah bagaimana cara kita agar dapat mempertahankan
persatuan dan kesatuan bangsa di tengah kemajemukan Negara Indonesia?
Jawabannya
hanyalah “Bhineka Tunggal Ika”
Semboyan
yang terdapat dalam kitab Sotasoma karangan Empu Tantular. Kata ‘bhineka’
berarti beraneka, ‘tunggal’ berarti satu, ‘ika’ berarti ikatan. Jadi dapat
disimpulkan makna dari “Bhineka Tunggal Ika” adalah berbeda-beda tetapi tetap
satu jua, seperti yang kita ketahui.
Semboyan
“Bhineka Tunggal Ika” menjadi semboyan Negara Indonesia seperti yang terdapat pada
UUDNRI 1945 pasal 36A. Yang berbunyi, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila
dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika.” Hal ini dimaksudkan melihat kondisi
Indonesia dengan kemajemukan yang ada.
Apabila
kita mengingat perjuangan para pendiri bangsa dahulu dalam memperjuangkan
kemerdekaan, tentu makna persatuan dan kesatuan itu besar sekali. Ya, persatuan
dan kesatuan yang semula hanya bersifat kedaerahan, disatukan lagi untuk
mencapai persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan ini tidak lepas
juga dari peran generasi muda jaman dulu untuk menggelorakan semangatnya.
Seperti yang telah disebutkan diatas, misalnya saja Sumpah Pemuda. Setelah
kemerdekaan, sebelum masa reformasi seperti sekarang ini, kita tentu masih
ingat bagaimana pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan
Orde Baru dipimpin Presiden Soeharto sejak tahun 1967 sampai tahu1998. Presiden
Soeharto menerapkan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk meujudkan
pembangunan nasional. Saya disini bukan akan membahas bagaimana pemerintahan
Orde Baru, tetapi seperti yang saya baca dari buku, salah satu dampak negatif
dari menguatnya peran Negara pada masa Orde Baru di bidang ekonomi adalah
adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Tidak
perlu ditutup-tutupi, kita tahu KKN pada masa Orde Baru sampai ‘mengakar’ pada
bagian terkecil komponen masyarakat. Begitu membudayanya KKN pada masa Orde
Baru, bahkan sampai masa reformasi yang sudah berjalan 13 tahun ini, KKN di
Indonesia sudah sangat biasa terngiang ditelinga kita berita KKN negara kita.
Bahkan, mungkin yang melakukan tidak merasa malu. Apakah Indonesia yang kini
sudah lepas dari Orde Baru, masih akan membudayakan KKN?
Sebagai
manusia yang bermartabat, berketuhanan, dari hati pasti kita ingin lepas dari
budaya itu juga. Yang menjadi buah
pemikiran saya adalah bagaimana KKN bisa terorganisasi dengan baik pada masa
Orde Baru tersebut?
Apakah
mereka-mereka yang melakukan KKN itu, sudah menanamkan di hati mereka untuk
melakukan KKN, hingga mereka yang terdakwa korupsi dengan santainya pergi
kesana-kemari tanpa memikirkan aib mereka karena KKN?
Masa
reformasi seharusnya menjadi lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Disini saya
berpendapat melalui pemikiran saya, kita mencontoh bagaimana terorganisasinya
KKN pada masa Orde Baru. Yang dicontoh, bukan budaya KKNnya yang pasti.
Kita
mengambil pelajaran dari masa Orde Baru untuk mengorganisasikan rasa persatuan
dan kesatuan sampai ke’akar-akar’ komponen terkecil masyarakat, agar persatuan
dan kesatuan menjadi budaya, hingga sulit untuk dihilangkan seperti KKN saat
ini. Jadi, bagaimana cara membudayakan persatuan dan kesatuan itu? Khususnya
untuk generasi muda sebagai penerus bangsa?
Pertama
adalah melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan,
khususnya dalam pengamalan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika harus bisa
diajarkan sejak dini. Pertama memang melalui keluarga. Karena, keluarga itu
sosialisasi tempat sosialisasi primer. Oleh karena itu, seorang ayah dan ibu
harus mempunyai bekal cukup untuk mendidik moral anak-anak mereka.
Seorang
ayah atau ibu mendapatkan sosialisasi moral Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika
dari lingkungan masyarakat ataupun tempat mereka bekeja. Lalu, anak-anak
mendapatkan sosialisasi sekunder di bangku pendidikan mereka, seperti mulai dari tingkat playgroup.
Mengapa
playgroup? Ya, karena seperti kita ketahui saat ini, playroup itu sudah
menjamur dimana-mana. Bahkan di desa pun sudah bermunculan playgroup. Kalau
bukan playgroup, minimal Taman Kanak-Kanak.
Anak-anak
ini harus memiliki bekal untuk tumbuh dewasa kelak. Mereka diharapkan memiliki
moral yang luhur untuk meneruskan perjuangan bangsa. Yang pertama diterapkan
adalah dengan agama mereka. Mengapa mulai dari agama?
Karena,
banyak dijumpai saat ini, banyak orang hanya mencantumkan/mengakui agama yang
dimiliki, tanpa melakukan ibadat menurut keyakinan mereka. Hal itu, sebab
paling kecil runtuhnya moral bangsa. Bagaimana tidak, moral luhur yang
diajarkan agama saja mereka tidak tahu, karena tidak mengamalkan ajaran agama
mereka.
Selain
agama, di playgrop atau Taman Kanak-kanak sebisa mungkin mengajarkan tentang
pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah disebutkan
diatas, mengenai ketuhanan, dan sila-sila selanjutnya. Misalnya, mengajarkan
anak untuk saling tolong-menolong, saling menghormati, diajak untuk
bermusyawarah, juga mengajarkan agar tidak membeda-bedakan teman. Itu contoh
paling kecil yang bisa diajarkan kepada anak didik.
Menurut
saya, anak kecil itu selalu menuruti/mengikuti apa yang ada di sekitar mereka.
Kalau gurunya mengajarkan pengamalan-pengamalan luhur itu kepada semua anak
didiknya, semua anak didik dengan kesadarannya akan melakukan moral luhur itu.
Kalau dari bangku playgroup sudah diterapkan, mereka juga pasti akan terbiasa
hingga mereka dewasa.
Yang
kedua adalah melalui sosialisasi mengenai pentingnya hidup berpancasila dan
berbhineka tunggal ika. Ya, ini untuk bekal orang tua untuk mendidik anak-anak
mereka juga. Sosialisasi ini bisa melalui seminar-seminar, ataupun rapat
tingkat RT.
Kita
tahu, seminar sudah banyak dilakukan. Walaupun menurut saya seminar merupakan
kegiatan efektif untuk mensosialisasikan mengenai pentingnya hidup berpancasila
dan berbhineka tunggal ika, tetapi saya lebih mengorientasikan kepada rapat
tingkat RT.
Mengapa?
Karena saya kurang begitu mengetahui antusiasme berbagai kalangan, dan alasan mengapa mereka sering tidak memanfaatkan
seminar itu. Mungkin juga, seminar itu hanya dimanfaatkan oleh orang yang
memang sudah benar-benar ‘melek’ dengan kemajemukan bangsa. Lalu, bagaimana
dengan orang awam?
Ya,
melalui rapat RT itulah. Saya yakin, walaupun globalisasi sudah menjamur bahkan
di desa-desa, rapat-rapat ataupun musyawarah itu tetap masih ada. Sosialisasi
melalui rapat atau musyawarah di desa itu, dirasa sangat efektif, karena bagi
orang awam, yang kebanyakan tidak mengenyam pendidikan sekolah, mereka tetap
bisa diberi ‘wejangan’ tentang
pentingnya hidup berpancasila dan berbhineka tunggal ika.
Menurut
saya, orang awam di desa itu, lebih sadar dengan rapat-rapat yang ada di desa
mereka. Hal itu, karena mereka belum terlalu terkontaminasi dengan budaya
globalisasi yang juga melunturkan kebudayaan. Ya, karena mereka berpendapat,
apabila tidak menghadiri rapat itu, samasaja menjauhi lingkungan masyarakat.
Dapat dikucilkan masyarakat kalau tidak mengikuti kegiatan seperti itu.
Tidak
menutup kemungkinan, generasi muda di desa masih ada yang awamjuga mengenai
Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu, dalam rapat pemuda di desa pun
penting juga untuk disosialisasikan.
Lalu,
bagaimana masyarakat kota yang sibuk dengan urusan kantor, rapat kesana kemari,
para eksekutif muda, dan lain-lain? Ya, seperti diatas tadi, disosialisasikan
melalui kegiatan rapat. Orang-orang tersebut juga berpengaruh dengan keadaan
Indonesia. Tidak menutup kemungkinan, mereka melakukan tindakan korupsi ataupun
kolusi. Apalagi, para eksekutif muda yang juga tulang punggung bangsa.
Untuk
kegiatan sosialisasi itu, hendaknya intitusi
legislatif, eksekutif, yudikatif mengadakan kerjasama dengan lembaga masyarakat
dan kantor-kantor ataupun politisi, birokrat, pengusaha dan intelektual. Hal ini, untuk
mensinergiakan seluruh potensi, guna mengemban misi persatuan dan kesatuan
melalui pentingnya hidup berpancasila dan berbhineka tunggal ika.
Lebih lanjut, semua itu
juga didasari oleh diri-sendiri. Ya, kalau semua komponen masyarakat mendukung,
lingkungan mendukung, tetapi dari diri sendiri malah tidak mendukung, percuma
saja dilakukan sosialisasi dimana-mana. Untuk diri-sendiri ini, hal yang paling
berpengaruh adalah agama mereka.
Peran generasi muda
dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa sangat strategis. Karena,
generasi muda sebagai pewaris dan penerus bangsa. Tanggung jawab generasi muda
terhadap Indonesia sangat tinggi. Masa depan bangsa Indonesia adalah bagaimana
keadaan generasi muda saat ini. Pepatah mengatakan, sesungguhnya masa depan
bangsa itu dari generasi muda. Jadilah generasi muda yang berkualitas jiwa
maupun raganya.
Lalu, peran generasi
muda meneruskan perjuangan pemuda jaman dulu untuk meneruskan cita-cita luhur
dan tujuan nasional sebagai tulang punggung bangsa, seperti kita ini adalah
dengan belajar yang rajin, disiplin, penuh kesungguhan, kesabaran, ulet, tahan
uji, pantang menyerah dalam meraih masa depan. Mengapa? Tugas utama pelajar itu adalah
belajar. Juga, generasi muda diharapkan memunyai cita-cita yang tinggi dan
luhur, agar program hidup jelas dan terarah. Tidak terseret kepada hal-hal
negative.
Hal ini, untuk
menciptakan cendekiawan-cendekiawan Negara seperti dahulu para pemuda sebelum
kemerdekaan. Semangat mereka. Saya
pernah membaca, bahwa gerakan
para pemuda dalam kiprahnya memberikan catatan bahwa ada siklus 20 tahunan, di
mana para pemuda memainkan peranan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara.
Sumber daya manusia yang hebat
adalah yang berilmu, takwa, berakhlak, dan moralitas yang baik. Nah, ini
saatnya kita untuk berpikiran cerdas akan pentingnya persatuan dan kesatuan
bangsa, dengan mengembalikan moral kita kepada moral Pancasila dan Bhineka
Tunggal Ika.
Karena, diatas saya menjelaskan sila
pengamalan Pancasila, saya melanjutkan sila keempat. “Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Contohnya, adalah
kegiatan musyawarah. Sila kelima, “Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.” Karena, kita hidup di lingkungan masyarakat, maka contohnya, kita
tidak memilih dalam hal bergaul.
Kalau moral Pancasila benar-benar
kiat terapkan, bersiaplah untuk Indonesia masa depan yang lebih terarah.
Riwayat
Hidup:
Nama : Wulan Sari Ningsih
Tempat, tanggal lahir : Sleman, 19 Februari 1995
Alamat : Gandekan 01/09,
Tlogoadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55286
Sekolah : SD N Tlogoadi (2006)
SMP N 3 Sleman (2009)
SMA N 1 Sleman (bangku kelas
XII)
Alamat
Sekolah : Jln. Magelang Km 14,4
Medari Sleman Yogyakarta 55515
0 komentar:
Posting Komentar